BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu polemik yang sudah banyak dikenal oleh masyarkaat muslim di dunia terutama di Indonesia adalah mengenai persoalan qunut pada setiap sholat subuh, sebagian yang lain berpendapat bahwa tidak di sunnahkan melakukan qunut subuh sebagian lain berpendapat bahwa disyari’atkan untuk melakukan hal tersebut, yang kedua-duanya memiliki dalil-dalil pendukungnya, oleh karena itu penulis pada kesempatan ini akan mencoba untuk menjabarkan beberapa hal mengenai qunut subuh tersebut.
Apakah senantiasa berqunut subuh adalah Sunnah? Siapakah yang mengatakan bahwa qunut termasuk Sunnah Aba’d yang ditambal dengan sujud [sahwi,pent] dan yang tidak menambalnya berarti kurang.
Apakah hadits: “Rasulullah Senantiasa berqunut hingga berpisah dengan dunia” termasuk hadits Sohih? Apakah hadits tersebut terkait qunut tersebut? Bagaimana pendapat Ulama tentang hal tersebut? Bagaimana hujjah mereka masing-masing? Jika ingin melakukan qunut nazilah apakah boleh berdoa dengan apapun yang ia inginkan?.(al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).)
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu tertolak.” Dan dalam riwayat Muslim, “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) tertolak.”
Hal ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama , qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, dan Imam Syafi ’iy.
Pendapat kedua , qunut shubuh tidak disyariatkan karena sudah mansukh ‘ terhapus hukumnya’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury, dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga , q unut pada shalat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah yang boleh dilakukan pada shalat shubuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy, dan ahli fiqih dari para ulama Ahlul Hadits.
A. Dalil Pendapat Pertama
Dalil terkuat yang dipakai oleh para ulama, yang menganggap qunut subuh itu sunnah, adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.” Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110 no. 4964, Ahmad 3/162, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 220, Al-Hakim dalam Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Rayah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugra ` 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no. 639, Ad-Daraquthny dalam Sunan -nya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129-130 no. 2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 689-690 dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no. 753, dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/255 dan Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Razy, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishahihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashatul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata, “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedangkan rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rabi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Razy mutakallamun fihi (dikritik)?” Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i, “Laisa bil qawy (bukan orang yang kuat).” Berkata Abu Zur’ah, “Yahimu katsiran (Banyak salahnya).” Berkata Al-Fallas, “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya).” Berkata pula Ibnu Hibban, “Dia bercerita dari rawi-rawi yang (membuat) masyhur hal-hal yang mungkar.”
Ibnul Qayyim, setelah menukil suatu keterangan dari gurunya, Ibnu Taimiyah, tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Razy, berkata, “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Razy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.” Zadul Ma’ad jilid I hal. 276
Bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Razy ini, akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah jarh mufassar ‘ kritikan yang jelas menerangkan penyebab kelemahan seorang rawi’. Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata, “Shaduqun sayyi`ul hifzh khusushan ‘anil Mughirah ‘ jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah’.”
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab:
Pertama , makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdoa untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdoa (kejelekan atas suatu kaum).” Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua , adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Razy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan kelemahan dan ketidaktetapan Abu Ja’far Ar-Razy dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/104 no. 7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh Imam Al Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang menguatkan hadits tersebut, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut.
Jalan Pertama , dari jalan Al-Hasan Al-Bashry, dari Anas bin Malik, beliau berkata,
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (perawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah dengan mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al-Hasan oleh dua rawi,
Pertama , ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al-Baihaqy 2/202, Al-Khatib dalam Al-Qunut dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 693, dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkirah Al-Huffazh 2/494. Dia adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan, dalam periwayatan hadits, dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits ‘ ditinggalkan haditsnya’.
Kedua , Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy. Dia dianggap matrukul hadits oleh banyak imam (baca Tahdzibut Tahdzib ).
Catatan
Berkata Al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad -nya, “Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihran, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Anas, beliau berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka beliau terus-menerus qunut pada shalat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau.” .”
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418, karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf, tetapi dari ‘Amru bin ‘Ubaid sebagaimana dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar -dan beliau(?) ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua , dari jalan Khalid bin Da’laj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik,
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Umar lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut.”
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Razy, tetapi Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyalahkan hal tersebut dengan berkata, “Butuh dilihat keadaan Khalid, apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daraquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata (di kesempatan lain), ‘ Laisa bi syay`in ‘ tidak dianggap’,’ dan An-Nasa`i berkata, ‘ Laisa bi tsiqah ‘ bukan tsiqah’.’ Dan tidak seorang pun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengategorikannya ke dalam rawi-rawi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya, ‘ Terus-menerus beliau qunut pada shalat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia,’ tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah ‘ Beliau (Nabi) ‘alaihis salam qunut,’ dan ini adalah perkara yang ma’ruf ‘ dikenal ‘ . Dan yang aneh hanyalah (perkataan) ‘ terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia’. Maka, terlepas dari anggapan dia yang cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)?”
Jalan ketiga , dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin ‘Abdillah, dari Anas bin Malik,
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal.” Dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Qunut , dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad, yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil, adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Adapun tentang Dinar bin ‘Abdillah, berkata Ibnu ‘Ady, “Mungkarul hadits ‘ mungkar haditsnya ’ .” Berkata pula Ibnu Hibban, “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya.”
B. Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal,
Pertama , ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam Tafsir -nya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghaib.
Kedua , diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata,
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
“Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan (menunjukkan) untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.’ Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Zhuhur, ‘Isya`, dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir.”
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh, tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
C. Dalil Pendapat Ketiga
Pertama, hadits Sa’ad bin Thariq bin Asyam Al-Asyja’i,
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
“Saya bertanya kepada ayahku, ‘ Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?’ Maka dia menjawab, ‘ Wahai anakku, (qunut Shubuh) adalah perkara baru (bid’ah).” Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667, Ibnu Majah no. 1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 677-678, dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal . Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil no. 435 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain
Kedua, hadits Ibnu ‘Umar,
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, ‘ Saya shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar lalu beliau tidak qunut.’ Maka saya berkata, ‘ Apakah lanjut usia yang menahanmu (melakukan qunut)?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘ Saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku.’.” Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy 1\246, Al-Baihaqy 2\213, dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2\137. Al-Haitsamy berkata, “Rawi-rawinya tsiqah.”
Ketiga , tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyariatkannya mengkhususkan qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus.
Keempat , qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal di kalangan shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar pada hadits di atas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa , berkata, “Dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung (menganggap) hal tersebut termasuk perkara-perkara baru yang bid’ah.”
Kelima , berbagai nukilan orang-orang, yang berpendapat disyariatkannya qunut shubuh, dari beberapa shahabat bahwa mereka melakukan qunut, terbagi dua:
• Ada yang shahih tetapi tidak ada sisi pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
• Ada yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan qunut shubuh, tetapi nukilan tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam , setelah mengetahui penjelasan di atas, maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa qunut shubuh, dengan membaca doa qunut “Allahummahdina fi man hadait …,” sampai akhir doa kemudian diaminkan oleh para makmum, disyari’atkan secara terus-menerus. Andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya shalat, karena qunut adalah ibadah, yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak shahabat. Tetapi kenyataannya, qunut hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad .
BAB III
PENUTUP
Jelaslah dari uraian di atas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih bisa dipakai berhujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut, secara bahasa, mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi, dan Ibnul Arabi:
1. Doa.
2. Khusyu’.
3. Ibadah.
4. Taat.
5. Menjalankan ketaatan.
6. Penetapan ibadah kepada Allah.
7. Diam.
8. Shalat.
9. Berdiri.
10. Lamanya berdiri.
11. Terus menerus dalam ketaatan.
Selain itu ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur`an hal. 428 karya Al-Ashbahany, dan lain-lain.
Maka jelaslah kelemahan dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dan telah jelas pulalah, dari uraian di atas, lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga, sehingga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus (selain qunut nazilah) adalah termasuk perkara baru dalam msalah agama, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.
Silakan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 4/200-201, Al-Mughny 2/575-576, Al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’an i Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshah 1/323, Al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah Ar-Radd Al Murbi’ 2/197-198, Nailul Authar 2/155-158 (cet. Darul Kalim Ath-Thayyib), Majmu’ Al Fatawa 22/104-111, dan Zadul Ma’ad 1/271-285.
DAFTAR PUSTAKA
http://an-nashihah.com/?p=54
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/08/mengakhiri-kontroversi-qunut-subuh/
Makalah (Penyelesaian Polemik Qunut Subuh)
Diposting oleh Abdul Rohman | | Minggu, 19 Desember 2010di 07.19 | Label: Agama, Artikel, Makalah, Materi Kuliah, Pendidikan Agama Islam
blog comments powered by Disqus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)